-->

Ads (728x90)

 

Waspada Manuver DPR dan Jokowi Usai RUU Pilkada Batal Disahkan
Massa aksi menolak RUU Pilkada berkumpul di depan kompleks Gedung MPR/DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta, Kamis (22/8/2024). (CNN Indonesia/Adi Ibrahim)

Editor By : Ismanto

JAKARTA, Peristiwanusantara.com - DPR RI batal mengesahkan Revisi UU Pilkada menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna, Kamis (22/8). Pengesahan batal diambil karena peserta rapat tidak memenuhi kuorum.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut rapat Paripurna sempat dibuka sekitar Pukul 09.30 WIB. Diskors selama 30 menit. Namun, kuorum tak kunjung terpenuhi setelah diskors.

Alhasil, DPR pun batal mengesahkan RUU tersebut. Dasco mengklaim DPR tidak akan menggelar rapat paripurna dalam waktu dekat ini.

Ia menyebut kalaupun mau dibawa ke rapat paripurna selanjutnya, yaitu pada Selasa (27/8), hari itu bertepatan dengan dibukanya masa pendaftaran pasangan calon di Pilkada. Pengesahan UU Pilkada pun tidak dimungkinkan.

Dengan demikian, Dasco memastikan pelaksanaan Pilkada 2024 bakal mengikuti ketentuan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan kepala daerah.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifudin pun menyatakan pihaknya sudah mengirimkan draf peraturan KPU (PKPU) nomor 8 tahun 2024 tentang syarat Pilkada sebagai tindak lanjut dari putusan MK kepada Komisi II DPR.

Di saat yang sama, gelombang demonstrasi 'darurat Indonesia' di depan gedung DPR semakin besar. Demonstrasi ini juga meluas di banyak daerah.

Setelah RUU Pilkada batal disahkan, masih tersisa dua hari kerja menjelang masa pendaftaran paslon Pilkada 2024. Lantas, apakah peluang menganulir putusan MK masih terbuka?

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya (UB) Muhammad Ali Safa'at berpendapat secara normal sudah tidak ada lagi peluang pemerintah untuk menganulir putusan MK.

Meski demikian masih ada celah melalui dua pintu, yakni PKPU dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait Pilkada.Namun hal itu akan bersifat inkonstitusional lantaran membangkang putusan MK terakhir.

"Ketika perubahan undang-undang keadaannya sudah tidak disahkan atau dibatalkan, jadi otomatis harus mengikuti isi dari putusan MK," kata Ali saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (23/8).

Maka dengan pernyataan DPR yang membatalkan pengesahan RUU Pilkada, KPU sewajarnya menyusun PKPU berdasarkan putusan MK.
Waspada manuver DPR hingga Jokowi

Namun Ali juga menyoroti sejumlah kekhawatiran dalam proses pembentukan PKPU. Misalnya, saat KPU berkonsultasi dengan Komisi II DPR RI dalam penyusunan PKPU, ada beberapa aturan yang kemudian dipaksakan masuk dan berujung berbeda dari putusan MK.

"Nah, tentu itu harus kita cermati bersama. Karena ketika PKPU itu tidak melaksanakan apa yang menjadi putusan MK, ya tentu saja PKPU itu sebetulnya cacat hukum, cacat konstitusional," kata dia.

Sebab PKPU tersebut menurut Ali menjadi tidak memiliki landasan hukum untuk substansi yang berbeda dari putusan MK.

Sedangkan untuk peluang penerbitan Perppu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), harus ada tiga hal yang mendasarinya.

Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasar undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Ketiga, terdapat undang-undang tapi tak memadai.

"Tapi, secara konstitusional, putusan MK kan sudah ada dan kemudian itu tinggal melaksanakan saja, jadi tidak ada sesuatu yang bersifat kegentingan memaksa," jelas Ali.

Putusan MK menurut Ali sudah sangat jelas dan berlaku pasca dibacakan Hakim Konstitusi pada Selasa (20/8) lalu. Sehingga negara tidak lagi membutuhkan aturan baru untuk pilkada.

"Jadi menurut saya, secara hukum tidak ada celah lagi. Kalaupun kemudian ada celah yang coba dimainkan, itu sesungguhnya justru merupakan pelanggaran terhadap konstitusi," imbuhnya.

Namun apabila Presiden Jokowi masih memiliki keinginan menerbitkan Perppu Pilkada, Ali mengingatkan bahayanya rencana tersebut bagi konstitusi. Sebab tidak ada alasan lagi bagi Jokowi untuk menerbitkan Perppu.

Apabila nantinya hal itu terjadi, yakni Perppu Pilkada diterbitkan, maka rakyat dapat mengajukan judicial review terhadap Perppu tersebut. MK dalam hal ini menurutnya juga bisa bekerja secara cepat menolaknya.

"Karena ya kondisinya ketika terbit Perppu itu justru muncul kegentingan yang memaksa bagi MK untuk bisa segera memutuskannya [menolak Perppu]," ujar Wakil Rektor UB itu.

Selain itu, Ali mengingatkan potensi eskalasi aksi demonstrasi yang akan meluas dan lebih parah dibandingkan aksi darurat pada Kamis kemarin. Sebab masyarakat tidak akan buta pada hal ini.

Oleh sebab itu, Ali menyebut DPR harus segera membuat pernyataan dalam forum atau ketok palu dalam sidang paripurna dalam waktu terdekat untuk membatalkan RUU Pilkada atau memastikan pembahasan RUU Pilkada akan dilakukan dalam masa persidangan berikutnya.

Dengan demikian, masyarakat baru akan mendapatkan jaminan bahwa pemerintah tidak akan menganulir putusan MK lewat pengesahan RUU Pilkada.

Sebab apabila hanya melalui konferensi pers yang dilakukan Dasco kemarin, dikhawatirkan masih ada kesempatan bagi DPR untuk melakukan perubahan aturan sebelum pendaftaran calon kepala daerah 27 September, atau sebelum penutupan pada 29 September.

"Jadi lewat Paripurna itu nanti akan memberikan kepastian hukum yang sangat jelas, dan menunjukkan ada itikad baik dari DPR dan pemerintahan bahwa mereka akan laksanakan putusan MK dan tidak melakukan perubahan terhadap RUU Pilkada," ujar Ali.

Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M Jamiluddin Ritonga mengimbau agar masyarakat Indonesia tetap mengawal muara putusan MK terkait pilkada.

Ia menyebut setidaknya upaya pengawalan itu harus dilakukan hingga selesai pendaftaran calon kepala daerah baik tingkat 1 maupun tingkat 2.

"Hal itu perlu dilakukan karena tidak ada jaminan bahwa RUU Pilkada benar-benar dibatalkan. Apalagi pembatalan itu hanya disampaikan melalui konferensi pers," kata Jamiluddin saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (23/8).

Jamiluddin menilai masih ada peluang DPR RI tiba-tiba melakukan sidang Paripurna sebelum masa pendaftaran pada Selasa (27/8).

Ia menyebut kekhawatiran itu bisa saja terjadi bilamana berkaca pada kebiasaan DPR belakangan ini yang mengetok palu RUU menjadi beleid baru secara kilat. Ia mengatakan kasus RUU IKN dapat menjadi contoh.

"Jadi pimpinan DPR harus menyatakan secara tertulis bahwa pembatalan RUU Pilkada sudah final. Dengan begitu, tidak ada lagi dasar bagi DPR untuk mengakali RUU Pilkada menjadi UU," kata dia.

Jamiluddin kembali mengingatkan bahwa peluang DPR menganulir Putusan MK masih terbuka. Sebab, apa yang dilakukan DPR saat ini menurut dugaannya tidak murni kehendak para dewan.

Ia menduga pengesahan RUU Pilkada merupakan pesanan dari pihak eksternal. Namun dalam hal ini, DPR menurutnya bisa jadi tak dapat menolak karena pihak eksternal yang super kuat itu melibatkan ketua umum partai. Dengan cara itu, maka anggota DPR RI tak punya nyali menolaknya.

Jamiluddin enggan membeberkan dugaannya terkait sosok eksternal yang dimaksud. Namun ia meyakini masyarakat sudah dapat mengamati siapa pihak eksternal yang ia maksud.

"Karena itu, bila DPR RI gagal mengesahkan RUU Pilkada, pihak eksternal itu bisa saja melakukan manuver lain," jelasnya.

Di sisi lain, Jamiluddin beranggapan alasan DPR membatalkan RUU Pilkada bisa saja karena terdapat dua suara terpecah antara pemerintahan Presiden Jokowi dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.

Prabowo menurutnya terlihat tidak ingin mengambil risiko dari aksi penolakan RUU Pilkada yang akan berimbas kepada dirinya nanti. Sebab, aksi massa itu bisa saja akan terus membesar bila RUU Pilkada tidak dibatalkan.

"Kalau itu terjadi, maka peluang Reformasi Jilid II sangat terbuka. Hal ini tentu tak dikehendaki Prabowo. Sebab, hal itu bisa saja akan membuat Prabowo tidak jadi dilantik pada 20 Oktober 2024," jelas Jamiluddin.

"Prabowo tentu akan murka bila hal itu terjadi. Untuk mencegah itu, Prabowo cepat tanggap dengan memerintahkan Dasco membatalkan RUU Pilkada," imbuhnya.

Lebih lanjut, berbicara mengenai celah hukum yang lain, Jamiluddin menyebut masih ada peluang untuk menganulir putusan MK melalui Perppu terkait Pilkada.

Perppu yang bisa saja diterbitkan Presiden Jokowi mengingat tenggat waktu pendaftaran yang sudah mepet. Dengan demikian, Jamiluddin menegaskan upaya menerbitkan Perppu masih sangat mungkin terjadi.

Namun ia pun menilai kekacauan akan semakin tak terkendali apabila Presiden memilih untuk mengeluarkan Perppu.

"Jadi, manuvernya bisa saja di luar DPR, lewat Perppu. Manuver di luar DPR itu kiranya tetap perlu diwaspadai rakyat Indonesia karena yang dihadapi adalah orang nekat yang menghalalkan semua cara," ujar Mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu.

Dengan segala kemungkinan yang masih bisa terjadi, Jamiluddin menitipkan pesan agar masyarakat harus terus memelototi gerak gerik DPR RI dan Istana. Sebab, yang berpeluang dapat mementahkan putusan MK hanya dua lembaga tersebut.

Ia pun menyerukan agar upaya turun ke jalan dapat tetap dilakukan hingga pendaftaran calon selesai. Sebab, kritik lewat akademisi hingga seruan di media sosial menurutnya kurang mempan melawan kehendak pemerintah.

"Hal itu perlu dilakukan karena DPR dan Istana hanya takut bila massa turun dalam jumlah besar. Tekanan melalui massa dalam jumlah besar tampaknya jauh lebih efektif untuk meredam DPR dan Istana agar patuh melaksanakan putusan MK," ujarnya.

Sebab apabila tidak ada pengesahan atas RUU Pilkada atau Perppu tentang Pilkada tidak diterbitkan, maka otomatis KPU akan tunduk pada Putusan MK. KPU mau tidak mau akan menyusun PKPU mengacu pada Putusan MK.

"Kalau ambisi politik DPR dapat diredam, maka RUU Pilkada tidak akan disahkan. Perppu juga berpeluang tidak akan terbit bila Istana terus ditekan dengan kekuatan massa," pungkasnya. (khr/pmg)


Sumber :cnn.indonesia.com




Posting Komentar