-->

Ads (728x90)

Putusan Lengkap MK, Sistem Pemilu 2024 Tetap Coblos Caleg
MK Tolak Legalisasi Ganja untuk Medis. ©2022 Merdeka.com/Iqbal Nugroho

By Redaksi

JAKARTA, Peristiwanusantara.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sistem Pemilu 2024 tetap menggunakan proporsional terbuka alias mencoblos caleg. Keputusan MK itu menolak menolak permohonan uji materiil Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup sebagaimana diajukan pemohon.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang digelar terbuka pada Kamis (15/6).

Hakim Anwar Usman menilai, dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Dalil Pemohon

Pemohon sebelumnya mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3) di UU Pemilu bertentangan dengan Konstitusi.

Perkara 114/PUU-XX/2022 itu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Pemohon menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup atau coblos partai diterapkan pada Pemilu 2024.

Para Pemohon dalam pokok permohonannya pada intinya mengemukakan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dilanggar atas berlakunya sistem proporsional terbuka dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia karena menimbulkan persaingan tidak sehat yang menitikberatkan pada aspek popularitas dan kekuatan modal dalam prosesnya.

Pemohon juga menilai sebagai kader politik, berlakunya norma-norma a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, menyebabkan konflik internal di internal partai politik sendiri. Format proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik dengan menempatkan kemenangan individual total dalam Pemilu, sebab peserta Pemilu adalah Partai Politik bukan individual sebagaimana dinyatakan Pasal 22E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

"Menyatakan kata 'terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," demikian salah satu petitum pemohon, sebagaimana dibacakan oleh hakim MK.

Tak hanya itu, pemohon juga menyatakan kata 'proporsional' pada Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sistem proporsional tertutup'.

Total ada sembilan petitum diajukan para pemohon. Dalil-dalil lain pemohon turut dipertimbangkan oleh MK untuk dijadikan dasar dari putusan penolakan permohonan.

Alasan Hakim Tolak Dalil Pemohon

Hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa para Pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilihan umum menggunakan sistem proporsional terbuka telah mendistorsi peran partai politik.

Dalil tersebut hendak menegaskan sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009 sampai dengan 2019 partai politik seperti kehilangan peran sentral-nya dalam kehidupan berdemokrasi sesuatu yang berlebihan.

Sebab dituturkan Saldi Isra, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar.

"Sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon," ujar Saldi Isra.

Sistem Pemilu Coblos Caleg Tetap Berpotensi Terjadi Politik Uang

Terkait dengan kekhawatiran calon anggota DPR/DPRD yang tidak sesuai dengan ideologi partai, Saldi Isra menjelaskan bahwa partai politik memiliki peran sentral dalam memilih calon yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik yang bersangkutan.

Di sisi lain, mengenai peluang terjadinya politik uang dalam sistem proporsional terbuka, Saldi Isra mengatakan bahwa pilihan terhadap sistem pemilihan umum apa pun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang.

Misalnya dikatakan Saldi Isra, dalam proporsional dalam daftar tertutup praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elit partai dengan para calon anggota legislatif yang berupaya dengan segala cara untuk berebut nomor urut calon jadi, agar berpeluang atas keterpilihan semakin besar.

"Dengan kata lain pembelian nomor urut calon DPR, DPRD atau jual beli kandidasi dan nomor urut nomination buying, juga merupakan salah satu bentuk praktik politik uang yang juga potensial terjadi dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup," kata Saldi Isra

Sementara itu, dijelaskan Saldi Isra, dalam sistem proporsional dengan daftar terbuka juga memiliki peluang terjadinya politik uang. Dalam hal ini menurut dia, bakal calon dan calon yang memiliki sumber daya finansial besar dapat memanfaatkannya untuk memengaruhi pemilih.

Maka dia melanjutkan, untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya meminimalisir terjadinya praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilihan umum, seharusnya dilakukan tiga langkah konkret secara simultan.

Pertama yakni partai politik dan para calon anggota DPR, DPRD harus memperbaiki dan meningkatkan komitmen untuk menjauhi dan bahkan sama sekali tidak menggunakan dan terjebak dalam praktik politik uang setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan umum.

Kedua menurut Saldi Isra, penegakan hukum harus benar-benar dilaksanakan terhadap setiap pelanggaran pemilihan umum. Khususnya pelanggaran yang berkenanaan dengan politik uang, tanpa membeda-bedakan latar belakangnya baik penyelenggara maupun peserta pemilihan umum.

"Khusus calon anggota DPR, DPRD yang terbukti terlibat dalam praktik politik uang, harus dibatalkan sebagai calon dan diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," kata Saldi Isra.

Bahkan untuk memberikan efek jera, Saldi Isra berpendapat bahwa partai politik yang terbukti membiarkan berkembangnya praktik politik uang dapat dijadikan alasan oleh pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik tersebut.

Selain itu, masyarakat perlu diberikan kesadaran dan pendidikan politik untuk tidak menerima dan menolerir praktik money politics, karena jelas-jelas merusak prinsip-prinsip pemilihan umum demokratis.

"Peningkatan kesadaran yang dimaksud tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah dan negara serta penyelenggara pemilihan umum. Namun juga tanggung jawab kolektif parpol, civil society, dan pemilih," ujar dia.

Sikap ini dikatakan Saldi Isra, sesungguhnya merupakan penegasan Mahkamah bahwa praktik politik uang tidak dapat dibenarkan sama sekali. Oleh karena itu, menurut Saldi Isra, praktik politik uang tidak dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan tudingan disebabkan oleh sistem pemilihan umum tertentu.

Saldi Isra menegaskan bahwa dalil-dalil Para Pemohon, seperti distorsi peran partai politik, politik uang, tindak pidana korupsi, hingga keterwakilan perempuan tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilihan umum.
"Dalam setiap sistem pemilihan umum terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya," kata Saldi Isra.

Menurut Mahkamah, tutur Saldi Isra, perbaikan dan penyempurnaan dalam pemilihan umum dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi, serta mengemukakan pendapat, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh partai politik, hingga kepentingan dan aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.

"Maka dalil-dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan sistem proporsional dengan daftar terbuka sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU 712017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ujar Saldi Isra.

Diwarnai Beda Pendapat Hakim

Sidang perkara nomor 114/PUU-XX/2022 itu diwarnai dissenting opinion atau pendapat berbeda dari hakim konstitusi, yakni Hakim MK Arief Hidayat.

Dalam pendapatnya, Arief menyatakan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka atau mencoblos caleg perlu dievaluasi setelah empat kali digunakan pemilu sebelumnya. Lantas, Arief mengusul perubahan yaitu sistem proporsional terbuka terbatas.

Hanya saja, Arief menekankan agar usulan itu tidak menganggu tahapan Pemilu 2024 yang sudah dimulai. Sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu 2029.

"Dalam rangka menjaga agar tahapan Pemilu tahun 2024 yang sudah dimulai tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029," jelas Arief saat sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (15/6).

Lebih lanjut, Arief menilai seharusnya permohonan pemohon uji materiil UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka dikabulkan sebagian. Karena dianggap beralasan menurut hukum.

"Menimbang dari keseluruhan uraian pertimbangan hukum di atas, saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian oleh karenanya harus dikabulkan sebagian," ujarnya.

Usulan Pemilu Terbuka Terbatas di 2029

Arief menyampaikan dari sisi ideologis-filosofis dan sosiologis-yuridis. Dalam pandangan ideologis-filosofis, menurut Arief sistem pemilu harus diletakkan dalam pelaksanaan demokrasi perwakilan. Yaitu, rakyat memilih wakilnya melalui kendaraan bernama partai politik.

"Dalam konteks pelaksanaan demokrasi perwakilan, rakyat memilih pada wakilnya melalui kendaraan 'partai politik' untuk menjadi wakilnya di lembaga perwakilan rakyat (parlemen). Dalam negara demokrasi yang berlandaskan hukum atau negara hukum demokratis (democratics constitutional state), partai politik memiliki fungsi penting dan strategis," ujar Arief.

Menurut Arief, partai politik memiliki peran penting dan strategis dalam negara hukum untuk mewujudkan cita-cita bersama suatu bangsa. Maka dalam pemilihan umum, wakil rakyat di lembaga perwakilan adalah partai politik.

"Dalam kerangka itu pula, peserta dalam Pemilu untuk memilih para wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat adalah partai politik," kata Arief.

Dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, menyatakan peserta pemilu memilih anggota dewan perwakilan rakyat dan anggota perwakilan rakyat daerah adalah partai politik. Arief menyebut dalam risalah perubahan UUD 1945 kurun waktu 1999-2002, terdapat wacana memasukan aturan mengenai partai politik dalam konstitusi. Meski tidak ada kesepakatan lebih lanjut mengenai hal ini.

Arief menyimpulkan bahwa pemilu anggota DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota pesertanya adalah partai politik bukan perseorangan calon legislatif.

"Hal ini menyirat makna bahwa pada dasarnya sistem Pemilu di negara kita menganut sistem proporsional. Sebab, yang dipilih dalam Pemilu untuk menentukan anggota DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota adalah partai politik sebagai peserta Pemilu. Sementara itu, dalam Pemilu anggota DPD, sistem yang dipakai adalah sistem distrik, karena peserta Pemilu dalam pemilihan anggota DPD adalah perseorangan," jelasnya.

Sementara, dari tujuan asli perubahan UUD 1945, menurut Arief, nampak jelas sistem pemilu dikehendaki adalah sistem proporsional memilih anggota DPR dan DPRD.

"Dari sudut original intent perubahan UUD 1945 yang tercermin dalam diskusi dan perdebatan yang terjadi pada saat perubahan UUD 1945 dan dimuat di dalam Risalah Rapat PAH|BP MPT, nampak jelas bahwa dalam perkembangannya, sistem Pemilu yang dikehendaki adalah sistem proporsional untuk memilih anggota DPR dan DPRD," jelasnya.

Dari perspektif yuridis-sosiologis, Arief membandingkan sistem pemilu terbuka dan tertutup. Yang disoroti Arief dalam penerapan sistem pemilu proporsional terbuka adalah, penerapan calon legislatif dengan suara terbanyak telah membangun ikatan emosional pemilih dan wakilnya di parlemen secara personal.

Hal tersebut memicu kekhawatiran mengendurnya kepercayaan masyarakat kepada partai politik. Serta melemahkan peran partai politik.

"Hal ini lah yang memicu kekhawatiran akan mengendurnya kepercayaan masyarakat kepada peran partai politik. Bahkan memicu semakin melemahnya peran partai politik. Sebab, narasi yang seolah dibangun adalah mengikat hubungan emosional antara calon anggota lembaga perwakilan dengan pemilihnya, bukan membangun hubungan emosional antara partai politik dengan pemilihnya. Hal ini merupakan salah satu efek negatif pemilihan dengan sistem proporsional terbuka," jelas Arief.

Terakhir, Arief mengusul sistem pemilu proporsional terbuka dievaluasi setelah empat kali diterapkan. Arief mengusulkan sistem proporsional terbuka terbatas diterapkan di Pemilu 2029.

"Dalam rangka menjaga agar tahapan Pemilu tahun 2024 yang sudah ada tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan pemilu dengan sistem usulan saya, sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029," jelas Arief.


 Sumber : Merdeka.com

Editor : Herry

Posting Komentar